Surat untuk Bumi


                                                                                                                    Sydney, 13 November 2016

Dear Bumi,


Apa kabar kamu di sana? Sudah hampir dua bulan saya tinggal di benua Kanguru, sembilan bulan sejak kepergian kamu. Tujuan dan waktu memang bukan kita yang menentukan bukan? Kamu yang ingin pergi ke sini malah saya yang terdampar di sini.


Saya masih ingat kita yang sering berdebat mengenai waktu yang merupakan penentu tujuan dan waktu juga yang menyembuhkan segala luka. Kamu tertawa saat mendengar argumen saya bahwa waktu bukanlah obat generik penyembuh segala. Malah pada beberapa kasus, waktu hanya memperparah luka. Contohnya rindu. Seiring berjalannya waktu, rindu di dada ini terus bertambah dan membuat sesak. Lantas rindu itu semakin berat dan menghimpit luka yang bekasnya tak hilang sejak dulu. Bagi saya rindu itu adalah sebuah luka yang perlu diobati dengan segera bertemu. 

"Lalu, kalau tidak bisa bertemu bagaimana?", tanya kamu singkat.

Beberapa bulan terakhir ini saya sangat merindukan orang-orang yang pernah hadir di dalam hidup saya. Iya, termasuk kamu. Ada banyak jeda hari saat pikiran ini melayang, lantas terbersit bayangan masa-masa itu.

Saya tidak pernah memberi tahu kamu bahwa memiliki merupakan perasaan mewah bagi saya: sebuah komitmen yang datang dengan tanggung jawab. Termasuk memiliki seorang teman. Saya sempat beberapa kali pindah sekolah dasar karena harus ikut orang tua pindah. Otomatis pertemanan yang saya jalin tidak bisa bertahan lama karena saya harus menekan tombol reset pertemanan saya di sekolah baru. Saya harus beradaptasi kembali. Sejak kecil saya memang gamang jika harus berhadapan dengan orang baru.

Saat pindah sekolah dasar untuk terakhir kalinya, saya berteman dengan Rudi. Ralat, Rudi berteman dengan saya. Teman jenaka yang memberi tahu saya peraturan formal dan tidak formal di sekolah yang baru saya masuki. Mulai dari jam masuk, jam keluar (termasuk jam untuk bolos ikut kelas), guru yang pengertian dan galak, hingga istilah porno dan vulgar. Dia sempat bilang, "Meni watir kitu maneh diuk sorangan di tukang." Katanya, kasihan saya duduk sendiri di belakang kelas.

Saya menyukai pertemanan karena memang sungguh menyenangkan. Pertama, ada perasaan istimewa karena saya tidak sendiri. Kedua, saya bisa merasakan memiliki. Saya seperti menyaksikan tanaman yang saya tanam tumbuh karena dipupuk dan diairi waktu.

Pada saat libur kenaikan kelas, saya sudah jarang bertemu dengan Rudi. Tiap hari selama liburan saya selalu datang ke rumahnya yang terlihat sepi dengan pagar rumah yang dikunci besi. Ibu saya bilang kalau Rudi dan keluarganya sedang berlibur ke luar negeri. Saya bertemu kembali dengan Rudi pada hari pertama masuk sekolah. Ia tidak seperti biasanya. Wajahnya pucat dan Ia memakai jaket tebal walaupun hari itu sedang panas. Ibunya menunggu dengan sabar di luar kelas hingga sekolah usai. Setelah hari itu, Rudi tidak lagi pernah masuk sekolah. Wali kelas saya mengumumkan kalau Rudi pindah sekolah. Saya cukup terkejut karena kami tidak sempat mengucapkan perpisahan. Seharusnya perpisahan tanpa kata-kata seperti itu sudah akrab bagi saya. Tapi ternyata, perasaan ditinggal pergi tetap asing untuk saya.  

Suatu hari, Ibu menjemput saya pulang sekolah dan mengajak saya datang ke rumah Rudi. Dari kejauhan rumah Rudi dipenuhi banyak orang. Bendera kuning  terpampang lesu di halaman rumahnya. Saya yang baru kelas lima sekolah dasar saat itu belum mafhum. Sampai Ibu bilang bahwa Rudi meninggal dunia karena sakit. Kanker tulang. Saya menangis sejadinya, sesederhana karena sedih tidak bisa bertemu Rudi lagi. Itulah awal pertama kali saya berkenalan dengan kehilangan.

Pada tahun-tahun berikutnya saya merasakan kehilangan dalam bentuk yang bermacam-macam, mulai dari kehilangan rasa percaya diri (karena persoalan akademik) hingga kehilangan rasa percaya (karena diselingkuhi pacar). Okay, kamu sekarang pasti tertawa menemukan saya yang bau kencur pernah hancur karena urusan percintaan.

Bumi, apa kamu pernah merasa ketakutan yang lebih besar dari rasa kehilangan itu sendiri?

Pada saat saya duduk di bangku SMA, seorang teman meninggal karena sebuah kecelakaan yang semalam sebelumnya saya sempat bermimpi tentang dia. Saya dan teman-teman melayat ke rumahnya dan bayangan mimpi saya muncul terus menerus. Sejak saat itu saya sering kali begadang dan tidak tidur. Takut mimpi semacam itu berulang kembali. Ketakutan yang perlahan menggerogoti kita dari dalam sungguh melelahkan.

Saya sering kali bercerita kepadamu tentang nenek saya dan bahwa kehilangannya adalah duka paling mendalam bagi saya. Kamu tahu nenek saya meninggal dunia tepat saat Hari Idul Fitri 1431 tahun 2010. Sejak kecil saya sering menemani Nenek pergi ke mana-mana: pasar, warung, dokter. Lebih banyak waktu yang saya habiskan bersama Nenek dibandingkan dengan orang tua saya. Nenek pernah punya satu keinginan untuk datang ke wisuda sarjana saya. Hal yang tidak sanggup saya penuhi karena saya baru lulus dua tahun kemudian. Tiap kali merayakan Lebaran, ada perasaan duka yang sulit untuk ditutupi. Seperti Lebaran tahun ini yang untungnya saya masih disibukkan pekerjaan. Saat itu saya hanya bisa berharap doa saya untuk Nenek bisa tersampaikan. 

Lucunya, pengalaman kehilangan seseorang dalam hidup tidak menjadikan saya terbiasa menghadapi kepergian seseorang. Malah, duka yang hadir menjadi berlipat ganda karena tiap kehilangan memacu kenangan-kenangan sebelumnya untuk muncul kembali. Mungkin kamu mengira saya bertambah kuat menghadapi kehilangan. Tapi justru sebaliknya, saya merasa semakin lemah menghadapi kehilangan. Semakin dekat kita dengan seseorang, semakin besar kehilangan yang kita alami saat dia pergi. Kita berdua sama-sama menyukai sepi dan sendiri. Tapi harus saya akui, terkadang rasa sepi itu terasa terlalu mencengkeram dan terasa menakutkan. 

Seperti beberapa bulan lalu, saat saya kehilangan kamu, seorang sahabat. Hati saya kembali didera duka. Tiap kali seseorang pergi dari hidup saya, saya seperti kehilangan bagian diri saya untuk selamanya. Ibarat roket, saya kehilangan pendorong saya satu persatu hingga akhirnya saya melayang di ruang hampa udara. Sedihnya, pengalaman masa kecil saya berulang lagi. Kita belum sempat bertukar kalimat perpisahan. Belum lagi saya harus berterima kasih kepada kamu yang bersedia menampung air mata dan duka yang saya tidak tahu harus alirkan ke mana. 

Jujur, saya rindu mengejar layangan bersama Rudi dan jajan bala-bala dengan bumbu kacang terenak yang pernah saya coba. Sayang rindu ketengilan Hilza saat menjadi pengurus OSIS di sekolah. Saya rindu melancong bersama teman-teman saya. Saya rindu orang-orang yang pernah saya sayangi dan juga menyayangi saya. Saya rindu tidur naik becak bersama dengan nenek saya. 

Saya rindu menghabiskan waktu berjam-jam bersama kamu di sebuah kafe dekat kampus Dipatiukur Bandung, hanya untuk berdiskusi tentang Nietzsche, Schopenahur, atau sebatas sistem beasiswa kampus yang belum inklusif dan sistem administrasi kampus yang amburadul. Ya, saya juga rindu saat kamu mengkritik puisi-puisi saya yang monoton. Saya rindu saat kita bertukar cerita tentang patah hati yang bertubi-tubi, teman-teman yang sudah berjauhan, atau keluarga yang hanya sebatas ikatan darah. Saya rindu akan optimisme dan kekuatan kamu untuk menjalani hari-hari yang sulit. Sama seperti ketika saya kehilangan beberapa orang yang pernah menyatakan sayang dan akhirnya mereka berubah dan menyerah, kamu selalu berhasil meyakinkan saya dengan perkataan Rumi,



Kamu pernah bilang bahwa kehilangan bukan milik kita saja. Orang lain pun pernah merasakan kehilangan dalam bentuk yang tidak pernah kita duga. Kehilangan menyatukan kita. Saya coba membaca banyak buku self-help, berbagi cerita dalam anonymous peer group, bahkan sempat berkonsultasi dengan psikolog tentang persoalan kehilangan ini, tapi saya tetap merasa ganjil. Kita pernah sepakat bahwa hidup itu harus dijalani karena waktu memang terus berjalan. 

Saya terus menjalani hidup ini dengan keganjilan personal saya, duka yang diam-diam saya bawa ke mana pun saya pergi. Saya tidak bisa memaksakan diri sendiri untuk tidak berduka. Tapi setidaknya saya bisa sedikit demi sedikit menerima kenyataan bahwa tiap orang mengalami kehilangan. Menerima kehilangan sekaligus menerima bagian diri yang tidak utuh lagi memang sangat sulit, ya?

Walau bagi saya waktu tidak menyembuhkan, setidaknya waktu menuntun saya hingga tiba juga kepergian saya. Bukankah tiap orang memiliki waktunya masing-masing untuk tetap tinggal dan pergi? 

Beberapa minggu setelah kepergian kamu, saya bongkar kembali surat-surat yang pernah kita kirim untuk satu sama lain. Ada surat panjang yang kamu kirim untuk saya yang memuat satu pertanyaan mengapa saya terobsesi dengan kehilangan dan enggan punya keinginan memiliki. Saya belum sempat menjawab, belum berani tepatnya. Melalui tulisan ini, saya coba untuk memberikan jawabannya. Semoga belum terlambat. Saya yakin tulisan ini bisa kamu baca. 

Sampai jumpa lagi suatu hari, Bumi. Doa dan salam hangat untuk kamu serta teman dan keluarga yang mendahului.

Salam rindu,

PDF.



Comments